Keluarga besar Abu Amr adalah keluarga Arab yang tinggal di Yaman. Keluarga ini tergolong terhormat dan berstatus sosial tinggi. Pada tahun 2 H, atau pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Abu Amr masuk Islam. Keluarga besarnya pun mengikuti. Tidak berselang lama, Abu Amr bersama keluarga besarnya pindah ke Madinah, agar dapat mempelajari Islam lebih dalam
Upaya ini relatif berhasil. Salah satu keturunannya, Malik, menjadi salah satu ulama Hadits terkenal di Madinah. Begitu pula anaknya Malik, Anas. Nama terakhir ini kemudian menikah dengan ‘Aliyah bintu Syarik al-Adziyyah. Buah dari pernikahan ini lahirlah di antaranya Nadhar bin Anas dan Malik bin Anas. Dua-duanya mempelajari Hadits di Madinah. Namun rupanya Malik bin Anas lebih dikenal ketimbang kakaknya. Dialah Imam Malik. Pakar ilmu Hadits dan Imam Madzhab Maliki.
Malik memiliki nama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Madani. Lahir di Madinah pada 714 M/93 H. Ia tumbuh di lingkungan religius dan sangat mencintai ilmu. Ia selalu dalam pengawasan dan perhatian orang tuanya. Terutama ibunya. Ibunyalah yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbing Malik. Ia tidak hanya memilihkan guru-guru terbaik, tetapi juga mengajarkan adab dalam belajar. Ia selalu memakaikannya pakaian terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar.
Kakek dan ayah Malik termasuk ulama Hadits terpandang di Madinah. Ini sebab mengapa sejak kecil ia tak berniat mencari ilmu di luar Madinah. Menurutnya, Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan para ulama besarnya. Ia pun menekuni pelajaran Hadits kepada ayah, pamanpamannya, dan kepada para ulama di Madinah.
Dia pun diberi ruang untuk menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi. Salah satu yang menarik dari kajian fiqihnya adalah tentang penafsiran Hadits. Pendapat-pendapatnya sangat dipengaruhi oleh aktivitas penduduk Madinah. Baginya, praktik-praktik yang dilakukan penduduk Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah zaman Rasulullah. Jadi, jika penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan rujukan hukum.
Tampan dan Berwibawa
Penampilan fisik Imam Malik tergolong istimewa. Berperawakan tinggi besar, berambut putih (beruban), dan berjenggot putih lebat. Berwajah tampan, kulit putih bersih, dan mata jernih kebirubiruan. Ia gemar memakai baju putih, bersih, dan harum. Selain karunia fisik rupawan, ia memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang yang menghadiri majelis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawanya. Wibawa itu tidak hanya dirasakan muridnya, para khalifah pun menghormati dan mendengarkan nasihatnya.
Kewibawaan itu dilapisi dengan sikap yang tegas. Berulangkali ketika dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan akidah Islam, dia menentang tanpa takut risiko. Salah satunya dengan Ja’far, Gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, al-Mansur, meminta penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Malik, yang saat itu baru berusia 25 tahun, merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukannya kepada khalifah yang tidak mereka sukai. Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa.
Kitab Al-Muwaththa’ dok al-haramayn
Ja’far meminta Malik tak menyebarkan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa sangat terhina. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera 70 kali kepada Malik. Dalam kondisi berlumuran darah, Malik diarak keliling Madinah dengan untanya. Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, Khalifah al-Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya. Al-Mansur segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada Malik. Sementara untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di Baghdad menjadi salah seorang penasihatnya. Namun, undangan itu ditolak. Imam Malik lebih suka menetap di Kota Madinah.
Al-Muwaththa’ dan Madzhab Maliki
Mendengar penolakan itu, khalifah memberi sanksi. Imam Malik diperintahkan mengumpulkan Hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan, namun kemudian mengerjakannya. Lahirlah al-Muwaththa’. Karya monumental Imam Malik yang ditulis pada masa khalifah al-Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah al-Mahdi (775-785 M). Kitab yang merangkum berbagai problem agama seperti ilmu Hadits, ilmu fiqh, dan sebagainya. Kompilasi Hadits sahih dan terpilih disertai pendapat sahabat dan tabi’in. Imam Malik sangat berhati-hati dalam menyeleksi, menyingkirkan, membahas, dan menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 Hadits yang dihafalnya, hanya 10.000 diakui sah. Setelah diteliti ulang dan dibandingkan dengan AlQuran, dari 10.000 Hadits itu, ia hanya memasukkan 1.720 Hadits. Ia menghabiskan 40 tahun untuk mengumpulkan dan menyeleksi Hadits.
Selain al-Muwaththa’, Imam Malik juga memiliki buah karya lainnya. Sebut saja misalnya al-Mudawwanah al-Kubra (berisi fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan), Risalah fi al-Qadar, Risalah fi al-Aqdhiyyah, dan satu juz tentang tafsir, dan lain-lain.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan kitab. Ia juga mewariskan madzhab fikih di kalangan Islam Sunni, Mazhab Maliki. Dalam Madzhab ini, sumber rujukan utamanya tidak hanya dari karyakarya Imam Malik. Madzhab Maliki juga memiliki rujukan utama lain seperti Bidayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid (Ibnu Rusyd), Matan al-Risalah fi al-Fiqh al-Maliki (Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), ‘Asl al-Madarik Syarh Irsyad al-Masalik fi Fiqh al-Imam Malik (Shihabuddin al-Baghdadi), dan Bulghah al-Salik li Aqrab al-Masalik (Syeikh Ahmad al-Sawi).
Sebelum wafat, Imam Malik pernah berwasiat, jika ia meninggal supaya imam shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim alHasyimi (Gubernur Madinah). Ketika ia wafat pada hari Ahad, 10 Rabi’ul Awwal 179 H/800 M di usia 85 tahun, wasiatnya dilaksanakan. Gubernur Madinah datang melayat dengan jalan kaki. Ia mengimami shalat jenazah dan ikut mengangkat jenazah hingga ke makamnya. Beliau dimakamkan di Pemakaman Baqi’. Imam Malik meninggal setelah tidak mampu lagi pergi ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun. Selama itu, ia mengidap penyakit sering buang air kecil. “Dan, saya tak suka menyebutkan penyakitku, karena khawatir saya akan selalu mengadu kepada Allah,” katanya. (ba; dari berbagai sumber)